Saya sudah harus pamit dengan keluarga dirumah pukul setengah tujuh untuk berangkat ke kantor, karena khawatir akan macet dijalan. Bayangkan saja! Rumah saya di Cengkareng, Jakarta Barat. Sedangkan kantor di Pulogadung, Jakarta Timur. Saya butuh waktu satu setengah jam untuk pergi-pulang setiap harinya. Pukul 7 pagi dan pukul 7 sore merupakan waktu kemacetan yang tinggi. Mulai dari daerah kemanggisan yang sangat rawan macet, Daerah Tanah Abang, hingga daerah Rawamangun. Diatas motor, kadang dengan emosi, saya berceloteh,”Aduh, apa sih yang bikin macet?” Rasanya tuh sesuatu banget!
Rasanya...ingin cepat sampai kantor.
Rasanya...kesal kalau lihat ada motor yang ngebut dan tak tahu budaya antri.
Rasanya...emosi lihat angkutan umum yang “ngetem” dipinggir jalan dengan alasan menunggu penumpang, padahal disitu bukan daerah terminal.
Rasanya...ingin marah lihat kendaraan yang tak patuh rambu.
Rasanya...spontan ingin teriak...Pak Polisi dimana dirimu!
Saya hanyalah salah satu dari sekian masyakarat yang mungkin memiliki kerinduan terlepas dari macet dijalanan ibu Kota. Kadang dengan mudah dan spontan, begitu ada kemacetan yang luar biasa, yang dengan mudah langsung dipersalahkan adalah Polisi Ditlantas.
Berharap bahwa kemacetan dapat langsung dihilangkan adalah mustahil. Lucunya, masyarakat terlalu menuntut pada polisi agar tidak macet, padahal masyakarat tidak berkaca bahwa mereka sendirilah yang membuat kemacetan tersebut.
Coba lihat, setiap masyarakat memiliki kepentingannya masing-masing ketika melaju di jalanan Ibu Kota Jakarta ini. Saling berebut jalan, dan terkadang mengindahkan semua rambu-rambu. Kedua, kendaraan motor dan mobil yang terlalu banyak dijalan secara bersamaan menyebabkan tidak ada batas yang jelas:mana rute untuk kendaraan roda dua dan roda empat. Padahal pada saat ujian pengambilan sim, kita pernah diberikan tes tentang berbagai rambu-rambu dan aturan main di jalanan. Tapi kok sepertinya hal tersebut tidak sama secara nyata dengan dilapangan.
Harapan saya hanya satu. Masyarakat Indonesia ini butuh dididik karakternya. Masyarakat bukan sekadar selesai menerima “sim”sebagai tanda kelulusan dan Selesai! melainkan butuh pemahaman yang lebih mendalam tentang berkendara di jalanan, memahami norma di jalanan, sebab hal ini tidak banyak diajarkan di sekolah selagi mereka masih dini. Hal ini sangat jauh berbeda dengan negara Jerman maupun Singapura. Maka, ide bagus bila Polisi Ditlantas dapat memberikan materi maupun penyuluhan bagi generasi muda di sekolah agar kelak mereka sungguh paham tentang berkendara yang baik. Sebab pendidikan karakter inilah yang kurang saya rasakan ketika mengenyam pendidikan di masa Sekolah dahulu.
0 Comments