"Kena tipu berapa Pak?", tanyaku
"Rp 50.000,- ah sial...sering banget orang sini banyak bayar pakai uang palsu. Apes dah!" Gerutunya sambil menunjukkan wajah kesal.
"Kalau saya lagi nyiapin es kelapa, pasti ngak sempat pikirin orang yang bayar. saya mah percaya saja. Aduh. kok tega bener yah bayar pakai uang palsu!"
Saat kejadian itu berlangsung, spontan terlintas ide dalam pikiran saya: andaikan beli es kelapa nya pakai kartu (elektronik), mungkin pak tua ini tidak akan tertipu uang palsu lagi.
***
Kisah nyata yang saya alami diatas hanyalah salah satu contoh tentang kelemahan uang fisik. Yes! bisa dipalsukan dan tentunya sangat merugikan pihak penjual. Bahayanya, hal ini bisa berdampak pada rasa tidak percaya penjual kepada para pelanggan yang sudah terbiasa membeli es kelapa.
Sebuah kampus ternama yang sering saya kunjungi ternyata mengharuskan semua para dosen dan mahasiswa wajib menggunakan kartu elektronik yang digunakan pula sebagai kartu identitas kampus. Kartu elektronik ini bisa menyimpan sejumlah uang untuk melakukan transaksi non tunai untuk didalam kampus maupun di luar kampus. Menariknya, kantin kampus ini tidak menerima pembayaran uang tunai. Para dosen dan mahasiswa yang membeli makanan di kantin kampus wajib melakukan transaksi non tunai dengan kartu pengenal mereka. Pengalaman ini merupakan contoh yang sangat baik sekali. Pedagang di kantin hanya berfokus pada dagangan mereka dan para pembeli mendapatkan apa yang mereka pesan dengan lebih cepat. Win-Win Solution dan sangat efisien!
***
Saya dulu pernah bekerja sebagai seorang kasir di sebuah toko di bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Pengunjungnya cukup ramai. Sebagai seorang kasir, saya sering "bersentuhan" dengan uang fisik setiap harinya. Ada dua hal kegelisahan saya saat itu. Pertama, potensi penyelewengan uang dan kedua, repotnya mencari uang "kecil" atau "kembalian". Bersentuhan dengan uang setiap hari bisa berdampak pada potensi penyelewengan uang. Kejadian ini terbukti dengan penyelewengan uang sebesar 4 juta rupiah yang belum lama terjadi oleh seorang kasir baru di toko yang sama. Repotnya mencari uang "kecil" seringkali menjadi masalah tersendiri. Pembeli biasanya mengandalkan pihak toko untuk menyediakan uang "kecil". Selain itu, pembeli kadang kurang bisa menerima uang "kembalian" yang sudah cacat fisik, lusuh, banyak lipatan, ada selotip karena robek maupun bekas staples. Hal ini sangat merepotkan. Maka solusi yang saya ambil saat itu ialah mengarahkan para pembeli untuk membayar dengan kartu debit, kartu kredit maupun kartu elektronik seperti Flazz dan e-money. Hal ini justru memudahkan kami ketika akan melakukan closing penjualan karena tidak terlalu banyak membuang waktu untuk menghitung uang fisik. Hal ini akan menolong beban kasir untuk penggantian uang jika ternyata ditemukan setoran closing penjualan kurang.
Saya mulai mengenal model transaksi non tunai sekitar 7 tahun yang lalu sebagai karyawan baru. Saya diharuskan membuat rekening payroll di salah satu nasabah bank ternama di Jakarta. Awal menabung, saya cukup merasa repot jika ingin melakukan tarik uang maupun setor tunai uang karena harus ke Bank terlebih dahulu. Dalam perjalanan waktu, saya mulai mengenal kartu debit, kartu kredit, mobile banking, sms banking dan berbagai kartu elektronik yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai macam pembayaran. Sangat efisien dan mudah! Dengan kehadiran model transaksi non tunai, kita tidak perlu lagi "mengejar" bank, tapi bank-lah yang memudahkan kita melakukan berbagai pembayaran secara transparan tanpa membuang banyak waktu.
Kesimpulan apa yang bisa aku tarik buat anda dengan model transaksi non tunai?
1. Membuat transaksi lebih cepat, transparan, efisien dan aman. Tidak perlu takut kehabisan uang "kecil"
2. Praktis dan bisa dilakukan di manapun.
3. Penyimpanan lebih mudah
4. Tidak menurunkan nilainya dibandingkan uang fisik.
Empat kata untuk Transaksi Non Tunai: Cepat-Efisien-Aman-Transparan
Yuk, mulai dari sekarang bertransaksi non tunai!
0 Comments