(Diskusi ini masuk dalam Siaran RadioSmartFM 23 November 2017)
The Phenomenon
Dalam 3 bulan terakhir muncul diskusi publik yang menarik mengenai
fenomena turunnya daya beli konsumen kita yang ditandai dengan sepinya
Roxi, Glodok, Matahari, Ramayana, Lotus, bahkan terakhir Debenhams di
Senayan City.
Anggapan ini langsung dibantah oleh ekonom karena dalam lima tahun
terakhir pertumbuhan riil konsumsi masyarakat robust di angka sekitar 5%. Kalau dilihat angkanya di tahun ini, pertumbuhan ekonomi sampai triwulan III-2017 masih cukup baik sebesar 5,01%. Perlu diingat bahwa konsumsi masyarakat (rumah tangga) masih menjadi kontributor utama PDB kita mencapai 54%.
Sebagian pakar mengatakan sepinya gerai ritel konvensional tersebut
disebabkan oleh beralihnya konsumen ke gerai ritel online seperti
Tokopedia atau Bukalapak. “Gerai-gerai tradisional di Roxi atau Glodok
telah terimbas gelombang disrupsi digital,” begitu kata pakar.
Kesimpulan ini pun misleading karena penjualan e-commerce hanya menyumbang 1,2% dari total GDP kita, dan hanya sekitar 0,8%
(2016) dari total penjualan ritel nasional. Memang pertumbuhannya
sangat tinggi (eksponensial) tapi magnitute-nya belum cukup siknifikan
untuk bisa membuat gonjang-ganjing industri ritel kita.
Kalau konsumen tak lagi banyak belanja di gerai ritel konvensional
dan masih sedikit yang belanja di gerai online, maka pertanyaannya,
duitnya dibelanjakan ke mana?
The Consumers
Tahun 2010 untuk pertama kalinya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia melewati angka $3000.
Oleh banyak negara termasuk Cina, angka ini “keramat” karena dianggap
sebagai ambang batas (treshold) sebuah negara naik kelas dari negara
miskin menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income country).
Ketika melewati angka tersebut, sebagian besar masyarakatnya adalah konsumen kelas menengah (middle-class consumers)
dengan pengeluaran berkisar antara $2-10 perhari. Di Indonesia, kini
konsumen dengan rentang pengeluaran sebesar itu telah mencapai lebih
dari 60% dari total penduduk.
Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini adalah bergesernya pola
konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman
menjadi hiburan dan leisure. Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari “goods-based consumption” (barang tahan lama) menjadi “experience-based consumption”
(pengalaman). Experience-based consumption ini antara lain: liburan,
menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser
musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain.
Pergeseran inilah yang bisa menjelaskan kenapa Roxi atau Glodog sepi.
Karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods), mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience)
di tengah atau akhir tahun. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mal
yang berkonsep lifestyle dan kuliner (kafe/resto) seperti Gandaria City,
Gran Indonesia, atau Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya
menjual beragam produk (pakaian, sepatu, atau peralatan rumah tangga)
semakin sepi.
The Shifting
Nah, rupanya pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser sangat cepat
menuju ke arah “experience-based consumption”. Data terbaru BPS
menunjukkan, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga yang terkait dengan
“konsumsi pengalaman” ini meningkat pesat. Pergeseran pola konsumsi dari
“non-leisure” ke “leisure” ini mulai terlihat nyata sejak tahun 2015 (Faisal Basri, 2017, lihat bagan).
Untuk kuartal II-2017 misalnya, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95% dari kuartal sebelumnya 4,94%.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini dinilai melambat lantaran
konsumsi rumah tangga dari sisi makanan dan minuman, konsumsi pakaian,
alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, (goods-based) hanya
tumbuh tipis antara 0,03-0,17%. Sementara konsumsi restoran dan hotel
(experience-based) melonjak dari 5,43% menjadi 5,87%. “Jadi shifting-nya adalah mengurangi konsumsi yang tadinya non-leisure untuk konsumsi leisure,” ucap Ketua BPS, Suhariyanto.
Studi Nielsen (2015) menunjukkan bahwa milenial yang merupakan
konsumen dominan di Indonesia saat ini (mencapai 46%) lebih royal
menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat lifestyle dan experience seperti: makan di luar rumah, nonton bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.
Sementara itu di kalangan milenial muda dan Gen-Z kini mulai muncul gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle) dimana mereka mulai mengurangi kepemilikian (owning) barang-barang dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (sharing).
Dengan bijak mereka mulai menggunakan uangnya untuk konsumsi pengalaman
seperti: jalan-jalan backpacker, nonton konser, atau nongkrong di
coffee shop.
Berbagai fenomana pasar berikut ini semakin meyakinkan makin
pentingngnya sektor leisure sebagai mesin baru ekonomi Indonesia.
Bandara di seluruh tanah air ramai luar biasa melebihi terminal bis.
Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya di hari
Sabtu-minggu, tapi juga hari biasa. Tiket kereta api selalu sold-out.
Jalan tol antar kota macet luar biasa di “hari kejepit nasional”.
Destinasi-destinasi wisata baru bermunculan (contoh di Banyuwangi,
Bantul atau Gunung Kidul) dan makin ramai dikunjungi wisatawan.
Sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai “core economy”
Indonesia karena kontribusinya yang sangat siknifikan bagi perekonomian
nasional. Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar
setelah kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi
penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah
perekonomian Indonesia dimana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi
bangsa.
Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur baik di
first cities maupun second cities. Kedai kopi “third wave” kini sedang
happening. Warung modern ala “Kids Jaman Now” seperti Warunk Upnormal
agresif membuka cabang. Pusat kecantikan dan wellness menjamur bak jamur
di musim hujan. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi
tak pernah sepi dari pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya
leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.
The drivers
Kenapa leisure-based consumption menjadi demikian penting bagi konsumen
dan mereka mau menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk liburan atau
nongkrong di kafe/mal? Setidaknya ada beberapa drivers yang membentuk
leisure economy.
#1. Consumption as a Lifestyle. Konsumsi kini tak
hanya melulu memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan. Konsumen
kita ke Starbucks atau Warunk Upnormal bukan sekedar untuk ngopi atau
makan, tapi juga dalam rangka mengekspresikan gaya hidup. Ekspresi diri
sebagai bagian inhenren dari konsumsi ini terutama didorong maraknya
media sosial terutama Instagram.
#1. From Goods to Experience. Kaum middle class
milennials kita mulai menggeser prioritas pengeluarannya dari “konsumsi
barang” ke “konsumsi pengalaman”. Kini mulai menjadi tradisi,
rumah-rumah tangga mulai berhemat dan menabung untuk keperluan berlibur
di tengah/akhir tahun maupun di “hari-hari libur kejepit”. Mereka juga
mulai banyak menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi di mal atau
nongkrong di kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban.
#2. More Stress, More Travelling. Dari sisi demand,
beban kantor yang semakin berat dan lingkungan kerja yang sangat
kompetitif menjadikan tingkat stress kaum pekerja (white collar) kita
semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong kebutuhan leisure (berlibur,
jalan-jalan di mal, atau dine-out seluruh anggota keluarga) semakin
tinggi.
#3. Low Cost Tourism. Dari sisi supply, murahnya
tarif penerbangan (low cost carrier, LCC) yang diikuti murahnya tarif
hotel (budget hotel) menciptakan apa yang disebut: “low cost tourism”.
Murahnya biaya berlibur menjadikan permintaan melonjak tajam dan
industri pariwisata tumbuh sangat pesat beberapa tahun terakhir.
#4. Traveloka Effect. Momentum leisure economy
semakin menemukan momentumnya ketika murahnya transportasi-akomodasi
kemudian diikuti dengan kemudahan dalam mendapatkan informasi
penerbangan/hotel yang terbaik/termurah melalui aplikasi seperti
Traveloka. Kemudahan ini telah memicu minat luar biasa dari seluruh
lapisan masyarakat untuk berlibur. Ini yang saya sebut Traveloka Effect.
“Welcome to the leisure economy.”
(Sumber: http://www.yuswohady.com/2017/10/28/welcome-leisure-economy/)