Ada sebuah surat di atas meja. Saya baru saja pulang dari rapat di luar kota, membuka pintu asrama dan melihat sebuah surat di atas meja. Persis seperti apa yang saya katakan lagi. Oh! Surat ini dialamatkan kepada saya. Bungkus surat ini berwarna putih persegi panjang. Tidak terlalu tebal. Surat ini bukan sekadar kartu ucapan Natal dan Tahun Baru seperti yang biasa aku terima dari kerabat dekat. Bukan juga surat undangan pernikahan di gereja yang berukuran tebal dan keras. Bukan juga surat instansi tertentu yang biasa menyertakan sebuah kop surat di bagian depan. Aneh! Mungkin surat ini cukup penting.
Sedikit rasa penuh keheranan, saya goyang-goyangkan surat itu dan menerawangnya lewat sorotan sebuah lampu neon putih yang berada diatas langit-langit rumah. Saya hanya ingin pastikan bahwa tak ada barang yang berharga didalamnya. Seandainya berisi uang, tentulah berbahaya jika ditaruh sembarang di atas meja seperti ini. Mungkin Mas Wahid, pria yang biasa mengantar, lupa memberikannya kepada saya. Ia biasa mengantarkan semua surat pos yang masuk ke kotak kamar saya.
Saya masih terdiam berdiri menatap surat itu. Saya makin heran dengan surat itu, walaupun badan ini ingin cepat berbaring di atas tempat tidur. Lelah sepulang rapat. Waktu pukul sepuluh malam. Ah! Mana yang harus saya pilih? Oh, Tuhan...
***
Saya masuk kamar dan melempar surat itu dari tangan, perlahan ke atas meja, karena ingin cepat mandi. Saat sudah berdiri dekat daun pintu kamar mandi, saya berhenti. Mata saya berpaling pada surat di atas meja itu. Saya tidak jadi mandi. Saya pergi ke sebuah kursi dibalik meja kayu kerja saya untuk membuka surat itu.
***
Selamat siang Abba,
Saya Ratna, ibu dari Yudhistira Maladewa yang tinggal di asrama saat ini. Surat cinta ini saya tulis karena berharap bahwa Abba sebagai bapa asrama dapat memahami karakter Yudhistira yang sebenarnya di dalam sana. Saya memohon Abba dapat memberikan nasihat agar dia menjadi lebih bijaksana dalam bertindak dan bertutur kata. Saya mohon maaf jika terpaksa menulis surat ini. Yudhistira memiliki latar belakang kehidupan yang unik, yang mungkin beda dengan teman-temannya dan sedikit banyak mempengaruhi karakternya.
Sekadar kilas balik, Yudhistira dilahirkan pada Bulan November sebagai anak sulung dari tiga saudara. Dua tahun kemudian lahirlah Amarita dan 12 tahun kemudian si bungsu Bima. Kami tinggal di pinggiran Jakarta, tepatnya suatu perumahan sebelah kota Depok. Sejak adiknya lahir sesekali Yudhistira suka diajak menginap di rumah mbah dari pihak ayahnya di Pondok Karya, Jakarta Selatan. Sebab ayahnya banyak diluar kota untuk menyelesaikan proyek dan saya kerepotan dengan adiknya yang masih bayi tanpa seorang pembantu. Akhirnya Yudhistira disekolahkan di taman kanak-kanak, tempat mbahnya bekerja saat itu (TK Kumala Bala Bhayangkari) dengan alasan tempat tinggal kami jauh dari sekolah yang cukup memadai, kemudian melanjutkan ke SD Tarki yang hanya beberapa ratus meter dari rumah Pondok Karya. Dengan satu alasan ingin mendapatkan pendidikan Katolik yang baik dan memadai, saya ikhlaskan Yudhistira ikut mbahnya yang saat itu tinggal bersama tante dan suaminya yang hingga kini tidak dikaruniai momongan. Dari sini saja Abba, saya bisa membayangkan limpahan dan curahan kasih sayang yang diberikan kepada Yudhistira itu bagaimana.
Ada rasa bersalah! Saya sebagai ibu tidak pernah tahu bagaimana perkembangan anak saya, bagaimana dia mulai bicara, bisa membaca dan macam-macam fasilitas yang dia dapat dari om dan tantenya. Saya yakin dia diajarkan disiplin dan kemandirian, tapi tentunya hal itu amat sangat berbeda dengan peraturan-peraturan yang saya terapkan untuk adiknya di rumah.
Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa dengan usaha sampingan berjualan kue. Adiknya sangat paham bagaimana susahnya seseorang berusaha mencari uang, tiap pagi jam empat tiga puluh saya sudah harus bangun, mengantarkan kue ke warung-warung. Siang hari mengambil hasilnya, sore hari belanja bahan, dilanjutkan membuat kue-kuenya. Adik-adiknya tahu perjuangan hidup, jadi untuk meminta sesuatu mereka harus tahu yang artinya “janji”!
Kalau Yudhistira rupanya tidak! Dia tidak tahu susahnya hidup, tidak pernah menghargai jerih payah seseorang untuk memenuhi keinginannya. Egoisme dan emosinya tinggi serta destruktif. Barang apa saja bisa rusak bila emosi dia muncul. Bila berani nyolek atau minta makanan, mending dibanting piringnya. Tapi saya lihat setelah tiga bulan tinggal di asrama, baru 65 persen terjadi perubahan. Mudah-mudahan dia dapat menjadi lebih baik.
Sejak 14 tahun yang lalu, saya sudah menyerahkan dia pada Tuhan, apapun yang terjadi dalam kehidupannya. Saya selalu mohon agar dia tidak ada pihak yang disakiti, tersakiti atau yang merasa menang. Saya membiarkan dia berkegiatan dalam gereja, agar dia tidak salah melangkah. Dan rupanya Tuhan menjawab doa-doa saya dengan memberikan karunia panggilan untuk Yudhistira untuk menjadi seorang gembala umat. Puji Gusti Allah. Saya sebenarnya cukup kaget mendengar apa yang diinginkan Yudhistira.
***
Saya hanyalah orang ketiga dalam kehidupan Yudhistira. Mbahnya sangat punya peranan besar dalam hidupnya. Coba ingat? Waktu acara pertemuan orang tua siswa asrama kemarin di satu kelas, mbahnya yang masuk khan! Saya dan papanya hanya melihat dari jendela. Mbahnya punya peranan besar luar biasa. Ia yang selalu membayarkan dulu SPP dan uang asrama Yudhistira apabila papanya terlambat dengan alasan malu. Kasihan bila Yudhistira ditegur di asrama hanya karena masalah soal ini.
Di rumah, saya mengajarkan kepada adik-adiknya untuk hidup prihatin. Hidup harus memakai skala prioritas bila menginginkan sesuatu, tapi Yudhistira tidak kenal itu. Karena segala sesuatunya sudah biasa diberikan oleh mbah dan tantenya.
***
Liburan kemarin, dia merasa butuh kacamata. Papanya bilang, ya...nanti minggu ke empat, kita periksa mata. Tentunya tunggu gajian dulu. Lalu tanpa ba-bi-bu, tantenya langsung mengajaknya periksa. Apakah hal ini mengajarkan hal yang baik?
Selama liburan kemarin Yudhistira sama sekali tidak menginap di rumah orangtuanya. Waktunya dihabiskan menemui teman-teman di gereja dan pergi dengan tantenya.
***
Abba, saya mungkin bukan ibu yang baik. Saya tidak bisa membagi kasih dan perhatian dengan adil. Tapi Yudhistira adalah anak yang saya lahirkan dengan perjuangan enam belas tahun yang lalu. Meski saya tidak mengikuti perkembangan hidupnya tapi saya amat menyayanginya. Entah mengapa dia sekarang tidak bisa menghargai ibunya ini. Saya merasa sangat sakit hati dan bila dia ketemu saya hanya untuk,”Ma...bagi duit! Ma, jajan!” Padahal, saya ingin mengajarkan padanya bahwa hidup perlu perjuangan dan susah. Mudah-mudahn dengan berjalannya waktu segala sesuatunya akan berubah, baik sikap dan tutur katanya.
***
Semoga Abba bisa mengerti cerita ini. Pada dasarnya dengan menyerahkan Yudhistira ke asrama ini, saya percaya masih ada orang yang sungguh mampu membimbing dan mengarahkannya sebagai pribadi yang beriman dewasa. Abba, saya ucapkan terima kasih dan perhatiannya pada Yudhistira dalam menasehati dan memberikan bimbingan. Salam cinta saya untuk Yudhistira, Ratna.
***
Surat ini dari Ratna, ibu Yudhistira. Terhenti habis membaca surat ini, saya menangis terharu. Menangis begitu dalam, sampai tak bisa bangun dari kursi. Ibunya begitu jujur, sampai-sampai terasa tidak ada kepalsuan dalam dirinya. Ah! Soal Yudhistira...ia adalah anak yang kuperhatikan selama ini di asrama. Pantas saja ia begitu murung di asrama. Tak kunjung lelah saya menemaninya dengan selalu bersyukur atas kehidupan yang diperolehnya dari Tuhan setiap saat. Ia adalah anak yang terbuka kepada saya, dengan segala sedihnya, dengan segala perjuangannya, dengan segala kerinduannya pada kedua orang tua. Ya, saya menangis. Sehelai tisu pun belum bisa menghapus tangisku. Saya terdiam tiga puluh menit dan berdoa. Saya memohon kekuatan Tuhan didalam doa agar dapat mendampinginya sebaik mungkin.
Selesai.
#Artikelmini11
0 Comments