KOMPAS.com - Belakangan ini saya merasakan adanya pemahaman yang kurang pas tentang disruption. Banyak yang menganggap disruption hanya berkaitan dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang marak belakangan ini, atau lebih spesifiknya lagi selalu soal taksi online.
Lalu, ada juga yang serba ngasal disruption. Beberapa motivator misalnya, mengaitkan motivasi dengan disruption. Tapi, begitu kita telusuri sedikit lebih jauh, isinya hanya "pertunjukan" hipnotis atau paparan tentang sejarah hidupnya yang penuh lika-liku.
Kemudian ada juga yang menyamakan disruption dengan cara kerja bisnis multilevel marketing (MLM) yang merugikan masyarakat. Pemahaman yang kurang pas lainnya adalah menganggap disruption seakan-akan melulu bisnis startup, dan hanya bermodalkan uang publik.
Bahkan ada yang membatasinya sebagai trading, sehingga melihatnya sebagai usaha brokerage. Bisnis percaloan. Jadi seakan-akan disruption melulu soal bisnis aplikasi yang digerakkan untuk mempertemukan suply dengan demand.
Anggapan seperti itu jelas kurang pas. Sebab disruptionitu sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri.
Misalnya yang paling sederhana, disruption terjadi akibat perubahan cara-cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning (kepemilikan) menjadi sharing (saling berbagi peran, kolaborasi resources).
Jadi kalau dulu semua perlu dimiliki sendiri, dikuasai sendiri, sekarang tidak lagi. Sekarang kalau bisa justru saling berbagi peran.
Atau, kalau dulu semuanya ingin dikerjakan sendiri, pada era disruption tidak lagi seperti itu. Sekarang eranya kita bekerja bersama-sama. Kolaborasi, berotong royong. Contohnya aplikasi yang dikembangkan oleh www.kitabisa.com, konsepnya adalah gotong royong untuk membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan.
Kian Meluas
Disruption mengubah banyak hal sedemikian rupa, sehingga cara-cara bisnis lama menjadi obsolete. Menjadi usang atau ketinggalan zaman. Persis seperti sebagian besar bangunan pabrik es yang kini telah berubah menjadi "rumah hantu", atau mesin faksimili yang sekarang hanya teronggok di sudut ruangan menunggu kiriman surat yang tak kunjung tiba.
Tapi, baiklah mungkin anggapan ini muncul karena masih awamnya pemahaman masyarakat dan para elit terhadap basic concept mengenai disruption itu sendiri. Sebagian baru pada tahapan ngasal dan mungkin malas membaca, sehingga menggunakan cara berpikirnya yang kemarin untuk melihat apa yang terjadi hari ini.
Padahal, disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present).
Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradapan baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-tiba terputus begitu saja (a trend break).
Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap".
Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman tadi.
Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran seperti itu amat kental logika masa lalunya. Jadi alih-alih menjelaskan, orang "berpengalaman" (masa lalu) malah bisa menyesatkan kita. Kata orang bijak, belajar itu sejatinya menjelajahi tiga fase: learn, unlearn, relearn. Sebab dunia itu terus berubah.
Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi.
Tapi, sayangnya ingatan publik bukan tertuju pada fenomena e-kampong yang dikembangkan di Banyuwangi, atau di Provinsi DKI Jakarta dengan aplikasi Qlue, atau penerapan Smart City di Kota Bandung dan Denpasar.
Ingatan publik juga belum sampai pada metode pelayanan kesehatan yang sekarang sudah semakin berbasiskan teknologi jarak jauh dan kolaboratif.
Sampai sekarang belum banyak orang yang menyadari bahwa sebagian mahasiswa Indonesia sudah bisa kursus di Harvard tanpa harus pergi ke Harvard. Dan, tak banyak yang menyadari bahwa para dokter sudah tak lagi memakai pisau bedah seperti di masa lalu untuk membedah organ dalam pasiennya.
Juga belum banyak yang menyadari bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sekarang tengah digeluti para buruh, bankir, dan dosen, mungkin sebentar lagi akan beralih. Bahkan masih ada beranggapan bahwa disruption seakan-akan hanya masalah meng-online-kan layanan, menggunakan aplikasi dan mem-broker-kan hal-hal tertentu.
Anggapan seperti itu—bahwa disruption hanya terjadi pada industri digital—sekali lagi saya tegaskan, jelas kurang pas. Sebab disruption tidak seperti itu.
Disruption terjadi di mana-mana, dalam bidang industri apa pun. Ia bahkan mengubah landasan hubungan dari kepemilikan perorangan menjadi kolektif kolaboratif.
Beberapa Contoh
Supaya kita punya anggapan yang sama, saya ingin tegaskan lima hal penting dalam disruption.
Pertama, disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.
Kedua, ia membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disruption. Lagipula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk?
Ketiga, disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
Keempat, produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone kita.
Kelima, disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.
Itulah lima ciri disruption yang belakangan ini marak terjadi di mana-mana. Apakah itu hanya terbatas pada industri digital? Jelas tidak. Perbaikan proses bisnis, misalnya, mampu memangkas biaya-biaya yang tidak perlu.
Tiga bulan lalu saya diminta menjelaskan fenomena disruption dalam tapat pimpinan PT PP, sebuah BUMN di bidang konstruksi. Namun Minggu lalu, saya saya sudah bisa melihat hasilnya.
Di sana saya ditunjukkan bagaimana Building Innovation Model yang dikaitkan dengan teknologi 3D Printing mampu menghasilkan bangunan yang proses bisnisnya menjadi jauh lebih ringkas dan lebih cepat.
Mungkin bagi sebagian perusahaan konstruksi BIM dan 3D Printing adalah alat biasa. Tapi di PT PP itu dipakai untuk melakukan disrupsi sehingga business process dan alokasi resources berubah.
Terjadi efisiensi dan perubahan pola kerja, mata rantai pasokan juga berubah. Akibatnya, ke depan perusahaan bisa menyeeiakan layanan yang lebih cepat, lebih murah, lebih menjawab bagi talenta-talenta muda.
Jadi, saya ingin mengingatkan bahwa kalau sekarang ini kita menyaksikan banyak perusahaan sedang susah akibat gempuran perusahaan-perusahaan yang berbasis digital, bukan berarti perusahaan konvensional tak akan mengalaminya.
Di sini yang saya maksud dengan perusahaan konvensional adalah perusahaan-perusahaan yang core business-nya tidak berbasis digital. Ia bisa bisnis apa saja. Bisnis konstruksi, pendidikan, industri, farmasi, keuangan, FMCG, jasa kesehatan dan sebagainya.
Maka, penting bagi Anda untuk membaca sinyal-sinyal bahwa suatu saat mungkin saja perusahaan Anda yang ter-disrupsi. Apa saja sinyalnya?
Saya akan mengulasnya pada kesempatan yang lain. Semoga bisa digunakan untuk menghadapi disruption.
0 Comments