Saya tinggal di Jakarta Barat, tapi ngantor di Jakarta Timur. Asalnya dari Bekasi. Masyarakat Bekasi Timur tenggang rasanya cukup tinggi. Silahturahmi untuk saling menyapa maupun saling menjaga kuat. Apalagi kalau titip anak gara-gara kita bekerja. Bayar untuk sumbangan RT pun tidak sulit. Entah mengapa hal ini tidak sama dengan situasi di Jakarta Barat dimana saya tinggal. Saya berfikir akan sama situasinya dengan Bekasi. Ternyata dalam satu RT pun jarang ada kontak. Saya mengalami kesusahan untuk berkenalan dengan tetangga. Komunikasi satu sama lain kurang. ketika miskomunikasi jadinya ribut. pada akhirnya saya yang harus rendah hati menyapa di lingkungan baru ini: Yes menyapa tetangga. Inilah tantangan yang saya hadapi sebagai warga negara. Apa tantangan yang anda rasakan atau anda alami sebagai warga negara di lingkungan Bapak dan Ibu tinggal?
AGRATA: Kalau menurut saya tantangan yang dirasakan sebagai warga negara yaitu susahnya untuk menghidupkan atau menggerakkan warga kampung dalam berkegiatan sosial di era globalisasi ini. Karena saya juga kebetulan sebagai karang taruna di tempat tinggal saya, maka program kerja yang dibuat bersama dengan pengurus kampung dalam hal ini RT untuk menciptakan kondisi lingkungan yang guyup rukun dan sejahtera. Beberapa program dirancang untuk warga dapat bersosialisasi satu sama lain sehingga mengurangi dampak miskomunikasi, maka dibuatlah program seperti kerja bakti, erlombaan dalam memperingati HUT RI, syukuran dalam memperingati hari besar islam, dan beberapa kegiatan lainnya. Namun yang saya rasakan dalam menjadi karang taruna dari dulu hingga sampai saat ini adalah kurang sadarnya warga dalam berkegiatan sosial, mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Kalau saya menanggapinya ya memang wajar dalam era globalisasi seperti ini, dituntut untuk melek teknologi namun dalam penerapannya masih sering terdapat kesalahan.
Sehingga terkadang dalam kegiatan kerja bakti yang seharusnya dilakukan secara gotong royong untuk menciptakan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat kini seakan-akan enggan untuk dilakukan. Beberapa cara dilakukan untuk menggerakkan warga jika tidak mengikuti kerja bakti akan di denda sesuai nominal yang sudah disepakati bersama, dan pengumuman sudah disebar melalui surat edaran dan bahkan grup WA, namun hanya beberapa orang yang memang peduli dengan kebersihan lingkungan saja yang mengikutinya dan saya melihat justru banyak yang rela membayar denda dengan alasan yang berbagai macam agar tidak mengikuti kerja bakti demi kepintingan pribadi bahkan mengesampingkan kepentingan bersama.
FAHRUL: Saya berasal dari Majalengka Jawa Barat, sama halnya dengan cerita bapak diatas, tempat asal saya budaya saling menyapa dan rukun antar tetangga masih sangat kental, bahu membahu dan gotong royong masih terasa. Ketika kuliah 3 tahun di Bandung saya pernah ngontrak dengan teman-teman di sebuah perumahan di Bandung, sama halnya dengan tempat asal saya budaya saling menyapa dan rukun antar tetangga juga masih sangat kental, bahu membahu dan gotong royong masih terasa.
Ketika saya pindah ke Cilegon Banten disini terasa sangat berbeda dengan lingkungan di daerah tempat tinggal saya dan d Bandung, disini terasa hidup masing-masing antar tetangga tidak saling sapa kecuali kita sendiri yang menyapa. Entah memang kebetulan hanya didaerah yang saya saja atau memang budayanya seperti itu.
Untuk saya pribadi hal tersebut tidak masalah, karena ini sebuah tantangan dalam hidup saya bertemu dengan orang-orang baru yang memiliki kepribadian dan budaya baru. Saya bisa mengimplementasikan nilai-nilai pancasila untuk bisa saling menghargai, menghormati, dan menerima perbedaan yang ada di lingkungan sekitar.
HENNY: saya Henny, asal dari Solo, Jawa Tengah. Saya tinggal di Jakarta Selatan dan kebetulan ngantornya juga di Jakarta Selatan. Lingkungan tempat tinggal saya Alhamdulillah baik, kami saling tegur sapa dengan tetangga walaupun ketemunya lebih sering ketika amprokan sama-sama mau berangkat kerja tau pulang kerja. Lingkungan di Jakarta seperti biasa semua rumah dengan pagar tinggi dan tertutup rapat (demi alasan keamanan) tapi tidak membuat kami saling mengisolasi diri.
Tetangga saya pun multi kultural. Salah satunya berasal dari Padang dengan Islamnya yang begitu kuat dan taat. Ada juga yang berasal dari Cina keturunan, dimana agamanya pasti antara Kristen atau Katolik. Lalu ada juga yang orang Betawi asli dimana sudah pasti agamanya Islam. Dan saya dari Jawa dengan adat dan budaya yang tentunya berbeda. Tapi dari perbedaan-perbedaan ini tidak membuat kami jadi anti-sosial. Para tetangga di lingkungan saya tinggal semuanya baik dan ramah, saling tegur sapa, saling berbagi makanan di acara-acara tertentu.
ELSA: Tantangan terbesar adalah betentangga yang tidak pernah akur dan banyaknya rasa ketidakpedulian satusama yang lain dan juga kurangnya rasa saling mengerti terhadap apapun apalagi hanya untuk membantu membersikan komplek rasa itu tidak pernah mengerti dan tidak peduli
NONITA: saya Nonita Sari Sihite, saya berasal dari Medan sumatera utara, saya menempuh pendidikan di Kota bandung, dan kebetulan sekarang saya sudah bekerja di kota yang sama. Lingkungan tempat tinggal saya waktu kecil, Puji Tuhan baik semua, rukun dan saling sapa menyapa, sehingga saya tidak mengalami kesulitan saat berteman dengan orang baru di desa tersebut. Dan ketika ada sebuah masalah atau kendala di kampung, tetangga saya langsung respek, dan memberikan respon yang sangat baik. Dan saya sangat bersyukur dibesarkan didaerah tersebut, Banyak belajar bagaimana saya harus peduli terhadap orang yang ada di sekeliling kita.
Setelah lulus SMA saya mencoba keluar dari Zona nyaman tersebut dan memutuskan Melanjutkan perkulihan di sebuah kota yaitu "Bandung". Saya menemukan dengan banyak teman baru yang berbeda karakter, agama, suku dan ras. Awalnya Saya sangat susah menyesuaikan pribadi saya dengan banyak perbedaan tersebut. Kebetulan saya tinggal bersama teman di sebuah kompleks, Menurut saya orang orang yang disekeliling atau tetangga saya kurang care, rasa tidak peduli tinggi, saling tidak menyapa. dan saya merasa hidup masing masin (anti sosial) Sehingga saya kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan mereka. Yahh itu mungkin dua perbedaan yang saya alami selama tinggal di dua tempat yang berbeda
LINA MERITHA: Tantangan yang saya rasakan di lingkungan tempat tinggal saya sebenarnya lebih ke kesenjangan antara penduduk asli surabaya dengan warga rantau. Kebetulan saya adalah warga domisili di Surabaya ini, keluarga saya asalnya dari Kediri. Di mana di lingkungan saya itu untuk mengurus surat menyurat apapun yang dibutuhkan oleh warga domisili di sini sangat susah. Ketua RT nya pun sering sekali menerapkan ketidakadlian untuk warganya mulai dari susahnya mengurus surat menyurat untuk warga domisili, perbedaan iuran sampah maupun agustusan antara penduduk asli dengan warga domisili. Hal ini tentu membuat kecemburuan sosial antar warga yang tinggal di lingkungan ini. Namun dengan besar hati kita sekeluarga mau gimanapun tidak akan pernah bisa menuntut keadaan yang saat ini ada itu untuk berubah, karena memang perbuatan seperti itu berasal dari sifat individunya masing masing. Sehingga kita semuan hanya bisa berlapang dada untuk menghadapi keadaan yang seperti itu.
Meskipun pada sisi tersebut yang sudah saya jelaskan di atas membuat kami merasa ada kesenjangan, namun kami antar warga sebenarnya tetap dalam kondisi yang baik baik saja. Alhamdulillah setiap saat kami semua masih saling bertegur sapa, saling membantu dan bahkan saling menjenguk ketika ada tetangga yang sedang sakit. Alhamdulillah perbedaan itu tidak menghalangi kami semua untuk berbuat baik antar warganya. Bahkan jika ada kerja bakti untuk membersihkan kampung ya kami saling bergotong royong untuk membuat tempat saya tinggal menjadi indah.
DIAH AYU SEKAR: Saya sekarang tinggal di kota yang bisa terbilang cukup kecil tapi suasana dan udara(paling penting) disini membuat nyaman, dan populasi manusia yang tidak sedang berebut udara segar seperti di kota besar. tidak banyak tantangan dalam hidup disini, mungkin biasanya masalah atau tantangan yang ada ialah kurangnya toleransi antar sesama atau bisa dibilang egois yang disebab kan oleh kemajuan zaman dan penyalah gunaan teknologi sebagai bisa dibilang kubutuhan utama sekarang. Tetapi dilingkungan tempat tinggal saya semua orang baik saling tugur sapa, jika ada yang kesulitan masih gotong royong saling membantu, tidak ada perbedaan martabat sesama manusia. Kembali ke tantangan yang saya jabarkan ini bisa dilihat ketika anak masih kecil hinggal orang yang sudah berumur bermain handphone sedang berkumpul atau sedang keaadan hangat yang sehusnya saling bercengkrama tapi asik dengan handphone masing-masing. Saya sendiri orang fleksibel kalau kata orang saya sangat fleksibel bisa dikatakan santai, saya mudah berdaptasi dengan lingkungan baru dan orang baru, ketika 3 tahun lalu saya merantau ke Bandung saya juga tidak kesulitan untuk beradptasi karena saya suka ngobrol jadi saya tidak sungkan untuk mengajak orang untuk berbicara.
QURO: saya
Quro, saat ini saya berdomisili di Bogor dan saya asli Brebes, Jawa Tengah.
Lingkungan di tempat saya tinggal dari kecil ialah di pedesaan dimana setiap
warga minimal se-RT disini pasti mengenal satu sama lain dan menganggap
semuanya adalah keluarga. Contohnya saja jika ada salah satu tetangga yang
mempunyai hajat pasti tetangga yang lain saling membantu dalam hal
mempersiapkannya seperti memasak dan lain-lain. Dan jika ada kegiatan pada
acara besar seperti perayaan HUT RI masyarakat disini mengadakan perlombaan se
desa kemudian juga saling bekerjasama dalam hal unjuk kreatifitas untuk acara
pawai yang biasanya diadakan se-kecamatan. Ini pastinya membutuhkan rasa gotong
royong yang tinggi dan dengan sifat kekeluargaan tujuan sekecil apapun bisa
tercapai. Kemudian sejak saya SMA sekitar tahun 2012-an saya sudah hidup
merantau karena bersekolah di Purwokerto selama 3 tahun. Dan saya melanjutkan
studi berkuliah di Yogyakarta. Dari kedua kota yang pernah menjadi tempat
rantau ini saya merasa dua kota tersebut memiliki karakter lingkungan yang
sama. Masyarakatnya yang sangat ramah, dan masih menunjukkan sikap saling
gotong royong serta kekeluargaannya terjalin erat. Saya masih sempat mengikuti
acara yang diselenggarakan kampung disana seperti acara perlombaan 17 an dan
yang unik di Jogja adalah ada acara Malam Tirakatan pada saat malam 17 Agustus
untuk mengenang jasa para pahlawan.
Untuk saat ini saya masih terbilang baru menempati tempat rantau baru di Bogor
ini, dan saya sedikit merasa berbeda dengan 3 kota yang sudah saya tempati
sebelumnya. Awalnya saya merasa lingkungan masyarakat disini yang kurang
sosialis dan lebih ke menutup diri, ini mungkin karena saya tinggal di
perumahan dan yang sebagian besar tetangga saya bekerja sehingga sangat jarang
sekali berinteraksi satu sama lain, hanya sekedar tegur sapa dan saling
berkenalan saat awal saja. Mungkin ini merupakan tantangan tersendiri bagi saya
untuk beradaptasi lebih dengan lingkungan baru yang saya tempati. Namun
baru-baru ini saya masuk di Grup Forum Jual Beli di Jejaring Sosial khusus yang
bertempat tinggal di perumahan tersebut, dan hal ini membuat saya lebih mudah
bersosialisasi dengan tetangga lain. Dimulai dari saling menawarkan jualan satu
sama lain jadi saling mengenal bukan hanya di media sosial saja namun berinteraksi
langsung seperti tegur sapa atau sekedar sharing pekerjaan semakin intens.
Mungkin itu sedikit cerita saya, yang bisa saya simpulkan adalah jangan takut untuk memulai sesuatu hal yang baik contohnya bersosialisasi dan menjaga silaturahmi.
NADYA LUKITA: Saya berasal dari Palembang, saya tinggal dalam sebuah perkomplekan, alhamdulillah di lingkungan ini warga saling membantu dan gotong royong agar lingkungan di sekitar nyaman dan aman untuk kami tinggali, saya memiliki tetangga yang baik-baik, saling tegur sapa, akan tetapi di komplek ini setiap rumahnya tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk memparkirkan kendaraan mobil sebanyak lebih dari 1, sehingga tetangga yang memiliki kendaraan mobil lebih dari 1 memparkirkan mobilnya diluar perkarangan rumahnya yang mengganggu akses keluar masuk kendaraan lain yang melintas. Saya mengalami kesusahan untuk menegurnya karena takut menyinggung hatinya sehingga ini menjadi tantangan bagi saya agar di lingkungan ini dapat lebih nyaman lagi tanpa kesusahan dalam melintasi jalan dikomplek.
ULIN NABILAH: Saya Nabilah, asal dari Surabaya. Masyarakat dikampung halaman saya cukup baik, sejak kecil saya merasakan rasa kebersamaan antar tetangga. Syukuran, Lomba 17 Agustus, kerja bakti kampung, bahkan nobar layar tancep hehe. Saya pun cukup kenal dengan orang - orang hingga 3 RT sebelah , sehingga saya merasa lebih aman.
Namun, hal itu tidak saya rasakan saat saya merantau di Cilegon Banten. saat itu saya bertempat tinggal diperumahan karyawan yang disediakan oleh perusahaan. halaman setiap rumah cukup luas, sehingga jarak antar rumah cukup jauh, selain itu sebagian besar waktu dalam satu hari dihabiskan dikantor, tetangga sekitar datang saat malam hari untuk beristirahat. sehingga saya mengalami komunikasi antar tetangga.
Pengalaman saya untuk mengatasi hal itu adalah dengan memanfaatkan weekend untuk melakukan kegiatan diluar rumah, berbelanja dipasar, hingga ikut kegiatan di masjid. lambat laun saya mulai mengenal tetangga sekitar, komunikasi berjalan dengan lancar, dan saya merasa lebih nyaman di lingkungan tersebut
MUTIA PRATIWI: saya dulu besar di Palembang daerah perbatasan kota, disana masyarakat sangat peduli satu sama lain. namun hobi menggosip. sehingga saya tidak bisa membiasakan diri. saya tumbuh seperti dipingit didalam rumah karna tidak nyaman dengan kebiasaan mereka menggosip.
ketika bekerja, saya ngekos di tengah kota palembang. disana sepi dan warga tidak saling interaksi. minusnya saya jadi tidak punya teman di daerah situ kecuali ibu kos nya.
HAFIZHA SUBEKTI: saya Hafizha. Saya sendiri sekolah, kuliah, dan bekerja di 3 kota berbeda. Saya lahir dan menghabiskan masa sekolah di Blitar, Jawa Timur. Saya kuliah di Kuta Selatan, Bali. Lalu sekarang kerja di Surabaya. Tentunya ketiga kota tersebut memiliki tantangan yang berbeda-beda. Pertama di Blitar, yang mana rumah saya ada di desa yang tidak terlalu jauh dari kota, disana kehidupaan bertetangga yang bisa dikatakan akrab satu sama lain. Tanpa berkenalan pun sesama warga bisa saling mengenal. Hal ini menjadi berkah srkaligus tantangan. Berkah karena tolong menolong sesama warga yang benar-benar ikhlas tanpa pamrih menjadi kebiasaan, tapi juga menjadi tantangan ketika lama-lama tetangga menjadi “kepo” terhadap kehidupan pribadi, Seperti satu orang saja yang bicara, sekampung bisa dengar, bahkan aib sekalipun. Jadi meskipun akrab, saya senantiasa harus hati-hati juga dalam berbicara atau bertindak agar tidak menjadi bahan ghibah tetangga. Kemudian di Jimbaran, Bali, disana kehidupannya sama sekali berbeda. Kuta Selatan merupakan area pariwisata yang mana banyak turis asing, warga lokal, dan warga pendatang dengan kehidupan malam yang menggiurkan. Sebenarnya orang-orangnya ramah sekali dan peduli, tapi tidak se-kepo warga di desa,menurut saya ini hal baik. Tapi disisi lain, pergaulannya juga cukup bebas menurut saya. Tantangannya tentu saja tentang bagaimana saya harus menjaga diri dari pergaulan bebas diantara orang-orang bahkan teman sendiri yang biasa dengan sisi “gelap” nya dunia. Di Bali ini saya benar-benar bertemu dengan berbagai macam orang, sehingga menjadi tantangan baru yaitu bagaimana caranya bertindak/berbicara sesuai dengan keadaan dan karakter masing-masing orang. Kemudian saat ini saya bekerja di Surabaya, bisa saya bilang disini lebih kalem meskipun saya tinggal sama-sama di daerah kampus. Kata orang Surabaya keras, tapi bagi saya tidak sekeras itu juga. Orang-orang dilingkungan sekitar ramah dan peduli, tapi tidak kepo. Disini tantangannya kurang lebih sama seperti di Bali dulu, tapi tidak seberat itu. Tantangannya justru datang dari tempat saya bekerja, dimana semua orang benar-benar sangat tekun menurut saya, jadi saya harus setekun itu juga dalam bekerja, karena jujur saja saya aslinya sangat malas, jadi dengan adanya tantangan ini, sebenarnya lama-lama saya jadi tekun juga.
ZAENAL ABIDIN: saya berasal dari surabaya namun saya bekerja dan berdomisili saat ini di kecamatan cepu, blora, jawa tengah. hampir sebagian besar waktu saya habiskan di tempat pekerjaan pak. kebetulan saya bekerja di bidang oil and gas milik negara. banyak sekali tantangan yang bersinggungan dengan masyarakat atau lingkungan sekitar selama saya bekerja di tempat ini. salah satunya adalah demo dari warga sekitar ketika terdapat tumpahan crude oil hasil pengeboran sumur baru yang tercecer atau sampe mengenai sawah dan ladang warga. tidak hanya itu banyak preman yang sering meminta uang karena banyak kendaraan berat melintasi desa mereka. sebenarnya masih banyak masalah yang tidak bisa jelaskan satu persatu, namun dari contoh sebelumnya sudah bisa menggambarkan bagaimana tantangan saya dengan para warga sekitar yang dinamis dan perku softskill dalam menghadapi gesekan-gesekan yang ada.
TOMMY GINTING MANIK: Saya Tommy , tinggal di Bandung. lingkungan saya sangat menjunjung tinggi tenggang rasa, nyaman rasanya ketika saya merayakan hari raya, tetangga saya mengucapkan selamat, dan saya pun melakukan hal sebaliknya. Dalam bersosialisasi pun saya merasa mudah, karena saya dan keluarga menghindari tinggal di dalam komplek, karena menurut kami jiwa sosialisasi lingkungan komplek lebih rendah, mungkin karena kesibukan masing-masing
MOH. MISWAN: Sejak 2017 saya merantau dari madura ke Bekasi saya tetap mempertahan kesantunan, bringas, dan sarungan ala madura. dan ternyata lingkungan tempat saya tingal memang mengetahui hal itu. serta saya mengajar ngaji 5 orang anak tetangga. namun hal itu hanya berjalan 2 tahun karena saya kena sift kerja sehingga waktu saya tidak memadai dan berbenturan. untuk tegur sapa dan senyum saya adalh tipe orang yang mudah sosialisasi mengingat itu adalh modal sebagai perantau. saking dari baiknya interaksi saya sampai mengikuti acara tahlilan kematian, sesekali ngimamin masjid serta menjadi muaddin di deket kontrakan saya. mungkin itu yang bisa saya share karena sata belum pindah lokasi artinya sejak awal merantau ya di daerah yang sekarang yaitu Cikarang
BAYU S: Saya Bayu, tinggal di Batam sekarang, sebelumnya di Bandung, asalnya Makassar. Lingkungan tempat saya tinggal di Batam ini adalah sebuah komplek perumahan yang cukup ramah yang setiap orangnya melakukan interaksi meskipun tidak banyak, sebenarnya saya masih tidak terlalu tahu bagaimana menjelaskannya secara detail karena saya juga bekerja pagi pulang malem banget jadi sempet ikut berinteraksi dengan warga mungkin hanya weekend. Namun weekend tersebut memberikan saya pandangan bahwa komplek ini adalah komplek yang ramah. Di Bandung, pengalaman sya juga cukup baik dalam berinteraksi dengan warga, terkadang warga juga mengadakan acara lokal dan mengajak saya dan teman-teman saya untuk ikut, komunikasi dengan mereka juga mudah serta untuk saling membantu juga gampang, namun karena banyaknya interaksi ini saya kadang sedikit terganggu dengan lingkungan rumah yang sempit, jarak antar rumah sangat dekat karena waktu itu rumah kontrakan berada di gang, sehingga ketika ada kendaraan, ataupun acara yang diadakan, suaranya akan sengat mengganggu. kemudian di tempat asal saya Makassar mungkin lebih nyaman karena interaksi saya lebih mudah karena sudah mengenal tempat asal saya sendiri dan berbagai kebiasaan warga yang ada.
MOCH ZHAIF FIRDAUS: Saya berasal dari Garut salah satu kabupaten yang berada di Jawa Barat. Sekarang saya tinggal di Tanggerang tepatnya dibelakang Bandara Soekarno-Hatta. Tantangan yang saya alami kurang lebih sama seperti yang bapa kemukakan, yaitu kurang adanya komunikasi antara warganya. Memang disini rata-rata para perantau yang bekerja di lingkungan bandara sehingga wilayah saya ini cukup terbilang sangat ramai dan tidak pernah sepi walaupun tengah malam. Namun warga sekitar seperti tetangga kos sangat sibuk dengan kepentingan masing-masingnya. Ditambah lagi dengan multikultur karena kebanyakan perantau juga watak ,sifat dan budaya yang berbeda juga jadi sulit untuk komunikasi. Maka dari itu terkadang saya yang selalu menyapa dan berkomunikasi duluan walaupun terkadang sering diabaikan oleh mereka.
KIKI SAH NIKRI: Saya kebetulan tinggal di kab.bekasi lebih tepatnya di kec pebayuran, disini masyarakatnya menurut saya masi dibilang sangat bagus dalam arti masi ada silaturahmi , saling sapa menyapa. tantangan menurut saya masayarakat disini masi rendah dalam mengetahui dunia luar, baik itu politik maupun teknologi padahal menurut saya itu sangat berpengaruh akan kesejahteraan mereka.
ANDARIA
SINURAYA: Tinggal di Bandung yang bukan kota asal saya bagi saya sangat
menyenangkan, tinggal ngekos di perumahan bojong raya, kecamatan bandung kulon
yang merupakan kota bandung membuat saya betah walaupun belum lama tinggal
didaerah ini, kebetulan rumah RT dan RW bersebelahan persis didepan kosan saya,
sehingga kosan putri yang saya tempati tergolong nyaman dari keributan dan aman
dari gosip gosip kemalingan. setiap ada kendala yang anak kosan alami kurang
menyenangkan kami diperbolehkan untuk kasih tau ibu kostan atau langsung ke
RT/RW. Selain kenyamanan dan keamanan warga atau tetangga yang sering berpapasan
dengan saya pun ramah ramah, hal ini membuat saya betah untuk tetap disini,
untuk tempat tinggal saya saat ini yang menjadi tantangannya adalah area pintu
masuk perumahan, sebenar nya perumahan yg saya tempat in saat ini memiliki 2
gerbang masuk keluar yang bebas, untuk gerbang utama dijaga oleh kantor
keamanan, namun gerbang keduanya menjadi pusat tongkrongan angkot, yang kadang
saat saya lewat kurang nyaman dengan bapak2 atau anak lajang dengan tampilan
preman atau anak jalanan, untungnya mereka tidak pernah saya lihat masuk kearea
dalam ataupun dekat kost an saya.
*SESI 2, PART 3, DVBA
0 Comments